UU NO. 19 TAHUN 2002 TENTANG
HAK CIPTA
Perlindungan hak cipta pada UU No. 19 pasal 1 yang
menjelaskan bahwa:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi dan sifat hak cipta terdapat pada pasal 2 UU no.19 tahun
2002 yang berisi:
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya
sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt
uk kepentingan yang bersifat komersial.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
I. UMUM
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni
dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku
bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu
dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya
intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu
tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan
para Penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu
dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi
juga bagi bangsa dan negara.
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia
dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujua n Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan
Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun
1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the
Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty(Perjanjian
Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1997.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang
selanjutnya disebut Undang – undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah
memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih
terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi
karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya
tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual
yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya
dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta
di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan
perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk
mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena
kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat
Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim
persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan
nasional.
Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan
hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan
manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak
yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau
dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah
dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan
karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan
menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemamp uan,
kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau
didengar.
Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain,
mengenai:
1. database merupakan salah satu Ciptaan yang
dilindungi;
2. penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa
kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical
disc) melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana
telekomunikasi;
3. penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau
alternatif penyelesaian
sengketa;
4. penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih
besar bagi pemegang
hak;
5. batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak
Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6. pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana
kontrol teknologi;
7. pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap
produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. ancaman pidana dan denda minimal;
10. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program
Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
PENDAFTARAN CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan
dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang
tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan
dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung
arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang
didaftar.
Pasal 37
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas
Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat
rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan
atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan
yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat
diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara
Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu
badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan
tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan
hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat
diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal
37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan
Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar
menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika
seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan
atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan
dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita
Resmi Ciptaan oleh
Direktorat Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat
mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan
hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu dengan
dikenai biaya.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan
dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang
namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30,
dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Undang-undang nomor 36 tentang
telekomunikasi, azas, tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi,
penyelidikan, sanksi administrasi, dan ketentuan pidana
Undang-undan nomor 36 tentang telekomunikasi berisi:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman,
dan atau penerimaan dari setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan
yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
Berdasarkan pasal 1 diatas dinyatakan
bahwa telekomunikasi merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan manusia
sekarang ini. Kemudian telekomunikasi menjadi sangat penting karena dalam
perkembangannya telekomunikasi bukan hal yang baru lagi dan juga dapat
mendukung perekonomian oleh beberapa orang menjadi sumber penghidupan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2000
TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: bahwa dalam rangka
pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan telekomunikasi sebagimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dipandang perlu
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar
1945;
2.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3881);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman
dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat,
tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau
sistem elektromagnetik lainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan
yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
4. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang
menggunakan dan memancarkan gelombang radio.
5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
6. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi
untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi.
7. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan,
koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi.
9. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
10. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi.
11. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan dan
pengoperasiannya khusus.
12. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan
telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda.
13. Kewajiban pelayanan universal adalah kewajiban yang
dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian
masyarakat yang belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi.
14. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi.
BABII
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN JASA TELEKOMUNIKASI
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN JASA TELEKOMUNIKASI
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi
dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi
khusus.
Pasal 4
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. Koperasi.
Pasal 5
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah; atau
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal 6
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun
jaringan telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar
Teknis.
(4) Ketentuan mengenaai Rencana Dasar Teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 7
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang
diselenggarakannya.
Pasal 8
(1)
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi terdiri dari :
a. penyelenggaraan jaringan tetap;
b. penyelenggaraan jaringan bergerak.
(2) Penyelenggaraan jaringan tetap
dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan tetap lokal;
b. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan langsung
jarak jauh;
c. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan
internasional;
d. penyelenggaraan jaringan tetap tertutup.
(3) Penyelenggaraan jaringan bergerak
dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan bergerak
terestrial;
b. penyelenggaraan jaringan bergerak
seluler;
c. penyelenggaraan jaringan bergerak
satelit.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 10
(1) Penyelenggara jaringan tetap lokal atau
penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak
satelit harus menyelenggarakan jasa teleponi dasar.
(2) Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam
menyelenggarakan jasa teleponi dasar wajib menyelenggarakan jasa telepon umum.
(3) Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam
menyelenggarakan jasa telepon umum dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 11
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerjasama dengan
penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri sesuai dengan izin
penyelenggaraannya.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Pasal 12
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi
yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi
sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, penyelenggara jasa
telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri dari:
a. penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. penyelenggaraan jasa multimedia;
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 15
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan
fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi
yang baik.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan
pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi.
(3) Dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti
ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.
(4) Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
Pasal 17
(1) Catatan/rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
disimpan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak
memungut biaya atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.
Pasal 18
(1) Pelanggan jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri
perangkat akses dan perangkat terminal pelanggan jasa telekomunikasi.
(2) Instalasi perangkat akses di rumah dan
atau gedung dapat dilaksanakan oleh instalatur yang memenuhi persyaratan.
Pasal 19
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi yang telah
memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa telekomunikasi sepanjang akses jasa
telekomunikasi tersedia.
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku.
dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan/atau menyita alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal
16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat
(1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat
(2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin (2) Pencabutan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis.
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal
52
Barang
siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal 55
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat
dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara
dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal
52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Penjelasan UU No.36
Tentang Telekomunikasi
Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Berikut adalah beberapa pengertian yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik Iainnya;
2. Alat
telekomunikasi adalah setiap
alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat
telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana
dan prasarana tetekomunikasi adalah
segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang
menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi;
8. Penyelenggara
telekomunikasi adalah
perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum,
instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum,
instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan
telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus adalah
penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus;
14. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan
telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
15. Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi
Informasi (UU ITE)
Berikut adalah salah satu contoh pasal yang terdapat pada Undang-Undang No 36 Tahun 1999:
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Dari definisi tersebut, maka kita simpulkan bahwa Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke jasa telekomunikasi
c) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Menurut saya berdasarkan UU No.36 tentang telekomunikasi, disana tidak terdapat batasan dalam penggunaan teknologi informasi, karena penggunaan teknologi informasi sangat berpengaruh besar untuk negara kita. Karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing dan tekhnologi informasi juga dapat digunakan oleh para pengguna teknologi informasi dibidang apapun.
Jadi keuntungannya juga dapat dilihat dari segi bisnis. Yaitu kita dengan bebas dan luas dapat memasarkan bisnis dalam waktu singkat. Jadi kesimpulannya menurut saya adalah, penggunaan teknologi informasi tidak memiliki batasan, karena dapat mnguntungkan dalam semua pihak.
UU NO. 19 TAHUN 2002 TENTANG
HAK CIPTA
Perlindungan hak cipta pada UU No. 19 pasal 1 yang
menjelaskan bahwa:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi dan sifat hak cipta terdapat pada pasal 2 UU no.19 tahun
2002 yang berisi:
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya
sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt
uk kepentingan yang bersifat komersial.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
I. UMUM
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni
dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku
bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu
dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya
intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu
tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan
para Penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu
dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi
juga bagi bangsa dan negara.
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia
dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujua n Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan
Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun
1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the
Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty(Perjanjian
Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1997.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang
selanjutnya disebut Undang – undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah
memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih
terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi
karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya
tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual
yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya
dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta
di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan
perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk
mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena
kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat
Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim
persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan
nasional.
Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan
hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan
manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak
yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau
dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah
dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan
karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan
menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemamp uan,
kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau
didengar.
Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain,
mengenai:
1. database merupakan salah satu Ciptaan yang
dilindungi;
2. penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa
kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical
disc) melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana
telekomunikasi;
3. penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau
alternatif penyelesaian
sengketa;
4. penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih
besar bagi pemegang
hak;
5. batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak
Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6. pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana
kontrol teknologi;
7. pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap
produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. ancaman pidana dan denda minimal;
10. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program
Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
PENDAFTARAN CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan
dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang
tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan
dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung
arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang
didaftar.
Pasal 37
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas
Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat
rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan
atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan
yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat
diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara
Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu
badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan
tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan
hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat
diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal
37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan
Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar
menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika
seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan
atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan
dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita
Resmi Ciptaan oleh
Direktorat Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat
mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan
hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu dengan
dikenai biaya.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan
dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang
namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30,
dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Undang-undang nomor 36 tentang
telekomunikasi, azas, tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi,
penyelidikan, sanksi administrasi, dan ketentuan pidana
Undang-undan nomor 36 tentang telekomunikasi berisi:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman,
dan atau penerimaan dari setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan
yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
Berdasarkan pasal 1 diatas dinyatakan
bahwa telekomunikasi merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan manusia
sekarang ini. Kemudian telekomunikasi menjadi sangat penting karena dalam
perkembangannya telekomunikasi bukan hal yang baru lagi dan juga dapat
mendukung perekonomian oleh beberapa orang menjadi sumber penghidupan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2000
TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: bahwa dalam rangka
pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan telekomunikasi sebagimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dipandang perlu
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar
1945;
2.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3881);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman
dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat,
tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau
sistem elektromagnetik lainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan
yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
4. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang
menggunakan dan memancarkan gelombang radio.
5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
6. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi
untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi.
7. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan,
koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi.
9. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
10. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi.
11. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan dan
pengoperasiannya khusus.
12. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan
telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda.
13. Kewajiban pelayanan universal adalah kewajiban yang
dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian
masyarakat yang belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi.
14. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi.
BABII
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN JASA TELEKOMUNIKASI
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN JASA TELEKOMUNIKASI
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi
dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi
khusus.
Pasal 4
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. Koperasi.
Pasal 5
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah; atau
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal 6
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun
jaringan telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar
Teknis.
(4) Ketentuan mengenaai Rencana Dasar Teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 7
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang
diselenggarakannya.
Pasal 8
(1)
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi terdiri dari :
a. penyelenggaraan jaringan tetap;
b. penyelenggaraan jaringan bergerak.
(2) Penyelenggaraan jaringan tetap
dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan tetap lokal;
b. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan langsung
jarak jauh;
c. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan
internasional;
d. penyelenggaraan jaringan tetap tertutup.
(3) Penyelenggaraan jaringan bergerak
dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan bergerak
terestrial;
b. penyelenggaraan jaringan bergerak
seluler;
c. penyelenggaraan jaringan bergerak
satelit.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 10
(1) Penyelenggara jaringan tetap lokal atau
penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak
satelit harus menyelenggarakan jasa teleponi dasar.
(2) Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam
menyelenggarakan jasa teleponi dasar wajib menyelenggarakan jasa telepon umum.
(3) Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam
menyelenggarakan jasa telepon umum dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 11
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerjasama dengan
penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri sesuai dengan izin
penyelenggaraannya.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Pasal 12
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi
yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi
sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, penyelenggara jasa
telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri dari:
a. penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. penyelenggaraan jasa multimedia;
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 15
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan
fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi
yang baik.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan
pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi.
(3) Dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti
ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.
(4) Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
Pasal 17
(1) Catatan/rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
disimpan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak
memungut biaya atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.
Pasal 18
(1) Pelanggan jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri
perangkat akses dan perangkat terminal pelanggan jasa telekomunikasi.
(2) Instalasi perangkat akses di rumah dan
atau gedung dapat dilaksanakan oleh instalatur yang memenuhi persyaratan.
Pasal 19
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi yang telah
memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa telekomunikasi sepanjang akses jasa
telekomunikasi tersedia.
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku.
dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan/atau menyita alat dan/atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal
16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat
(1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat
(2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin (2) Pencabutan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis.
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal
52
Barang
siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal 55
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat
dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara
dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal
52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Penjelasan UU No.36
Tentang Telekomunikasi
Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Berikut adalah beberapa pengertian yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik Iainnya;
2. Alat
telekomunikasi adalah setiap
alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat
telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana
dan prasarana tetekomunikasi adalah
segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang
menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi;
8. Penyelenggara
telekomunikasi adalah
perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum,
instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum,
instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan
telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus adalah
penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus;
14. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan
telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
15. Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi
Informasi (UU ITE)
Berikut adalah salah satu contoh pasal yang terdapat pada Undang-Undang No 36 Tahun 1999:
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Dari definisi tersebut, maka kita simpulkan bahwa Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke jasa telekomunikasi
c) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Menurut saya berdasarkan UU No.36 tentang telekomunikasi, disana tidak terdapat batasan dalam penggunaan teknologi informasi, karena penggunaan teknologi informasi sangat berpengaruh besar untuk negara kita. Karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing dan tekhnologi informasi juga dapat digunakan oleh para pengguna teknologi informasi dibidang apapun.
Jadi keuntungannya juga dapat dilihat dari segi bisnis. Yaitu kita dengan bebas dan luas dapat memasarkan bisnis dalam waktu singkat. Jadi kesimpulannya menurut saya adalah, penggunaan teknologi informasi tidak memiliki batasan, karena dapat mnguntungkan dalam semua pihak.
0 komentar:
Posting Komentar